SIAPA YANG MENANAM, DIA YANG AKAN MENUAI
Segala puji
itu hanyalah milik Allah. Dialah zat yang telah menyempurnakan nikmat-Nya untuk
kita dan secara berturut-turut memberikan berbagai pemberian dan anugerah
kepada kita.
Semoga Allah
menyanjung dan memberi keselamatan untuk Nabi kita Muhammad, keluarganya yang
merupakan manusia pilihan dan semua sahabatnya yang merupakan manusia-manusia
yang bertakwa seiring silih bergantinya malam dan siang.
Kita pasti
pernah mendengar peribahasa ini, “Siapa yang menanam, Dia yang akan menuai.”
Maksudnya, jika seseorang menanam kebaikan, maka ia akan menuai kebaikan pula.
Dan jika seseorang menanam kejelekan, maka ia akan menuai hasil yang jelek
pula. Berikut beberapa contoh dalam Al Qur’an dan hadits yang menceritakan
maksud dari peribahasa ini.
Menjaga
Hak Allah, Menuai Penjagaan Allah
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan pada Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu
‘anhuma- sebuah kalimat,
احْفَظِ
اللَّهَ يَحْفَظْكَ
“Jagalah
Allah, niscaya Allah akan menjagamu.”[1]
Yang
dimaksud menjaga Allah di sini adalah menjaga batasan-batasan, hak-hak,
perintah, dan larangan-larangan Allah. Yaitu seseorang menjaganya dengan
melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan tidak melampaui batas
dari batasan-Nya (berupa perintah maupun larangan Allah). Orang yang melakukan
seperti ini, merekalah yang menjaga diri dari batasan-batasan Allah. Yang
utama untuk dijaga adalah shalat lima waktu yang wajib. Dan yang patut
dijaga lagi adalah pendengaran, penglihatan dan lisan dari berbagai keharaman.
Begitu pula yang mesti dijaga adalah kemaluan, yaitu meletakkannya pada
yang halal saja dan bukan melalui jalan haram yaitu zina.[2]
Barangsiapa
menjaga diri dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan, maka ia akan
mendapatkan dua penjagaan.
Penjagaan
pertama: Allah akan
menjaga urusan dunianya yaitu ia akan mendapatkan penjagaan diri, anak, keluarga dan harta.
Ibnu Rajab
Al Hambali mengatakan, “Barangsiapa menjaga (hak-hak) Allah, maka Allah akan
menjaganya dari berbagai gangguan.” Sebagian salaf mengatakan, “Barangsiapa
bertakwa pada Allah, maka Allah akan menjaga dirinya. Barangsiapa lalai dari
takwa kepada Allah, maka Allah tidak ambil peduli padanya. Orang itu berarti
telah menyia-nyiakan dirinya sendiri. Allah sama sekali tidak butuh padanya.”
Jika
seseorang berbuat maksiat, maka ia juga dapat melihat tingkah laku yang aneh
pada keluarganya bahkan pada hewan tunggangannya. Sebagaimana sebagian salaf
mengatakan, “Jika aku bermaksiat pada Allah, maka pasti aku akan menemui
tingkah laku yang aneh pada budakku bahkan juga pada hewan tungganganku.”[3]
Penjagaan
kedua: Penjagaan
yang lebih dari penjagaan pertama, yaitu Allah akan menjaga agama dan
keimanannya. Allah akan menjaga dirinya dari pemikiran rancu yang bisa
menyesatkan dan dari berbagai syahwat yang diharamkan.[4]
Semoga
dengan menjaga hak-hak Allah, kita semua bisa menuai dua penjagaan ini.
Berlaku
Jujur, Menuai Kebaikan
Dari sahabat
‘Abdullah bin Mas’ud, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ
بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى
إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى
يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ
يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا
يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ
اللَّهِ كَذَّابًا
“Hendaklah
kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan
pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika
seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan
dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari
berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan
kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan
berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”[5]
Terkhusus
lagi, beliau memerintahkan kejujuran ini pada pedagang karena memang kebiasaan
para pedagang adalah melakukan penipuan dan menempuh segala cara demi
melariskan barang dagangan.
Dari
Rifa’ah, ia mengatakan bahwa ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ke tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan
transaksi jual beli. Beliau lalu menyeru, “Wahai para pedagang!” Orang-orang
pun memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil
menengadahkan leher dan pandangan mereka pada beliau. Lantas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى
اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ
“Sesungguhnya
para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang
fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah, berbuat baik dan
berlaku jujur.”[6]
Berlaku
jujur juga akan menuai berbagai keberkahan. Yang dimaksud keberkahan adalah
tetapnya dan bertambahnya kebaikan. Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا – أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ
صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا
مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Kedua
orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama
keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang,
maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya,
bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah
keberkahan bagi mereka pada transaksi itu.”[7]
Inilah buah
yang dipetik dari pedagang yang tidak berlaku jujur. Sedangkan sebaliknya jika
pedagang bisa berlaku jujur, maka ia pun akan menuai berbagai kebaikan dan
keberkahan.
Mudah
Memaafkan dan Tawadhu’, Menuai Kemuliaan
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ
صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ رَجُلاً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا
تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
“Sedekah
tidak mungkin mengurangi harta. Tidaklah seseorang suka memaafkan, melainkan ia
akan semakin mulia. Tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ (rendah diri) karena
Allah, melainkan Allah akan meninggikan derajatnya. “[8]
Seseorang
yang selalu memaafkan akan semakin mulia dan bertambah kemuliaannya. Ia juga
akan mendapatkan balasan dan kemuliaan di akhirat. Begitu pula orang yang
tawadhu’ (rendah diri) karena Allah, ia akan ditinggikan derajatnya di dunia,
Allah akan senantiasa meneguhkan hatinya dan meninggikan derajatnya di sisi
manusia, serta kedudukannya pun akan semakin mulia. Di akhirat pun, Allah akan
meninggikan derajatnya karena ketawadhu’annya di dunia.[9]
Berperilaku
Baik, Menjadi Teman Akrab
Allah Ta’ala
berfirman,
وَلَا
تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34)
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ
عَظِيمٍ (35)
“Dan
tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang
besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Sahabat yg mulia,
Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- mengatakan, “Allah memerintahkan pada
orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan
kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek.
Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan
setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa
menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini.”
Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan, “Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki
kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu
yang berat bagi setiap jiwa.”[10]
Menolong
dan Memudahkan Sesama, Menuai Pertolongan dan Kemudahan dari Allah
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَفَّسَ
عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً
مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ
عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ
فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ
فِى عَوْنِ أَخِيهِ
“Barangsiapa
meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan
meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan
seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia
dan akhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi
‘aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama
hamba tersebut menolong saudaranya.”[11]
Di antara
bentuk pertolongan di sini adalah seseorang memberikan kemudahan dalam masalah
utang. Ini bisa dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, memberikan
tenggang waktu pelunasan dari tempo yang diberikan, ini hukumnya wajib. Karena
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ كَانَ
ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ
“Dan jika
(orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan.” (QS. Al Baqarah: 280). Cara kedua, dengan memutihkan
hutang tersebut, dan ini dianjurkan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ
تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280)
Berkebalikan
dari sikap baik ini adalah mengenakan riba pada saudaranya yang menunda utang.
Ini adalah berkebalikan dari memberi kemudahan. Maka tentu saja orang yang
memberi kesulitan pada saudaranya akan menuai hasil yang sebaliknya.
Usaha
disertai Tawakkal akan Menuai Hasil
Dari Umar
bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ
تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ
بِطَاناً
”Seandainya
kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian
rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi
hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”[12] Burung ini melakukan usaha dan bertawakkal
pada Allah, akhirnya ia pun kenyang ketika pulang di sore hari. Ini berarti
tanpa usaha, tidak akan memperoleh hasil apa-apa. Dan usaha tanpa tawakkal,
hanya akan memperoleh sekadar yang Allah takdirkan. Yang tepat adalah usaha
disertai tawakkal, niscaya hasil memuaskan yang akan dituai.
Berbuat
Curang, Menuai Berbagai Musibah
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَمْ
يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ
الْمَؤُنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ
“Dan
tidaklah mereka berbuat curang ketika menakar dan menimbangm melainkan mereka
akan ditimpa kekeringan, mahalnya biaya hidup dan kelaliman para penguasa.”[13]
Dan sebab
curang dalam perniagaaan inilah sebab dibinasakannya kaum Madyan, umat Nabi
Syu’aib ‘alaihis salam. Allah Ta’ala memerintahkan pada
kaum Madyan,
أَوْفُوا
الْكَيْلَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُخْسِرِينَ (181) وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ
الْمُسْتَقِيمِ (182) وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا
فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ (183)
“Sempurnakanlah
takaran dan janganlah kamu termasuk orang- orang yang merugikan; dan timbanglah
dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
(QS. Asy Syu’ara: 181-183)
Jadi
ingatlah, setiap yang kita tanam -baik kebaikan maupun kejelekan-, pasti kita
akan menuai hasilnya. Oleh karenanya, bersemangatlah dalam menanam kebaikan dan
janganlah pernah mau menanam kejelekan. Para ulama seringkali mengutarakan, “Balasan
dari kebaikan adalah kebaikan setelahnya. Sedangkan balasan dari kejelekan
adalah kejelekan setelahnya.”[14]
Segala puji
bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
[1] HR. Tirmidzi no. 2516 dan Ahmad 1/303. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[2] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal.
223-224.
[3] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal.
225-226.
[4] Faedah dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam,
hal. 224-226.
[5] HR. Muslim no. 2607.
[6] HR. Tirmidzi no. 1210 dan Ibnu Majah no.
2146. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib 1785 mengatakan bahwa hadits
tersebut shahih lighoirihi (shahih dilihat dari jalur lainnya).
[7] HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532.
[8] HR. Muslim no. 2588, dari Abu Hurairah.
[9] Al Minhaj Syarh Muslim, 16/141-142.
[10] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
12/243.
[11] HR. Muslim no. 2699, dari Abu Hurairah
[12] HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan
shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar