Jamaah Mesjid Al Muhajirin melasanakan Shalat Gerhana
Air and Space Gerhana Matahari
Sebagian
Gerhana matahari terjadi Jumat (10/5/2013) pagi, dan
sebagian wilayah di Indonesia dapat menyaksikan peristiwa tersebut. Menyikapi
fenomena ini, jamaah Mesjid Al Muhajirin GBI Desa Buahbatu Kecamatan
Bojongsoang Kabupaten Bandung, menggelar shalat sunah gerhana.
Ustadz M. Muhaemis S. Ag, mengatakan, gerhana matahari
adalah fenomena alam yang patut direnungi manusia. Dari peristiwa ini dapat
dipelajari tentang mekanisme tata surya, sekaligus mensyukuri keberadaan
matahari yang penting untuk kehidupan manusia di bumi. Sementara itu, shalat
gerhana, lanjut Ustadz M. Muhaemin, adalah sunah nabi yang dilakukan setiap
kali terjadi gerhana, baik gerhana matahari maupun bulan.
Sebagian besar wilayah di Indonesia dapat menyaksikan
fenomena gerhana ini, meskipun hanya gerhana matahari sebagian. "Fenomena
kali ini adalah gerhana matahari cincin. Tapi gerhana matahari cincin hanya
bisa dilihat di Pasifik. Indonesia akan mengalami gerhana matahari
sebagian." kata pakar astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin.
Gerhana matahari terjadi ketika matahari, bulan, dan
bumi berada pada posisi segaris, dengan posisi bulan berada di antara matahari
dan bumi sehingga cahaya matahari sesaat terhalang. Ada tiga kemungkinan
gerhana matahari, yaitu gerhana matahari total, gerhana matahari sebagian, dan
gerhana matahari cincin.
Gerhana matahari total terjadi ketika posisi bulan
benar-benar menghalangi matahari terlihat dari bumi. Sementara itu, gerhana
matahari sebagian terjadi saat sebagian lempeng bulan menutupi lempeng matahari
terlihat dari bumi.
Gerhana matahari cincin disebut
sebagai yang paling unik dari fenomena ini. Posisi bulan tepat di antara
matahari dan bumi, tetapi lempeng bulan yang terlihat dari bumi lebih kecil
dari lempeng matahari sehingga seolah-olah ada cincin api mengitari sebuah
lingkaran hitam. Tertutup penuh atau tidaknya lempeng matahari oleh
lempeng bulan meski pada posisi satu garis, bisa terjadi tergantung jarak bulan
ke bumi ketika posisi segaris itu terjadi. “Sesungguhnya
matahari dan Bulan mengalami gerhana bukan karena meninggalnya atau terlahirnya
seseorang, jika kalian menyaksikan peristiwa tersebut lakukanlah sholat dan
perbanyaklah berdo’a kepada Allah”. (HR. Imam Bukhari dari sahabat Mughiroh
bin Syu’bah).
Ketika terjadi gerhana,
baik gerhana matahari dan bulan, dianjurkan dan disunnahkan untuk melakukan
sebagai berikut :
1. Merasa
takut kepada Allôh Ta’âlâ di kala terjadi gerhana. Sebagaimana sabda Nabi
Shallallâhu ‘alaihi Sallam : “Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah dua tanda diantara tanda-tanda Allôh. Gerhana
matahari dan bulan terjadi bukan disebabkan oleh kematian seseorang. Akan
tetapi Allôh bermaksud menakuti hamba-hamba-Nya dengannya.” (HR Bukhârî) Di
dalam hadits Abû Burdah dari Abû Mûsâ Radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata : “Ketika
terjadi gerhana matahari, Nabi Shallallâhu ‘alaihi Sallam sontak berdiri
terkejut dan merasa ketakutan kiamat akan datang. Beliau lantas pergi ke masjid
dan melakukan sholat yang panjang berdiri, ruku’ dan sujudnya. Aku melihat
beliau begitu ajegnya melakukannya. Setelah itu Nabi bersabda : “Gerhana ini adalah tanda-tanda yang Allôh
mengutusnya bukan disebabkan karena kematian atau kelahiran seseorang. Namun
gerhana ini diutus supaya Allôh menakuti hamba-hamba-Nya. Apabila kalian
melihat sesuatu dari gerhana, maka takutlah dan bersegeralah berdzikir kepada
Allôh, berdoa dan memohon pengampunan-Nya.” (Muttafaq ‘Alaihi) Al-Hâfizh
berkata : “Bisa jadi ketakutan Nabi
Shallallâhu ‘alaihi Sallam ketika terjadinya gerhana merupakan pendahuluan
terjadinya tanda-tanda kiamat (besar), seperti terbitnya matahari dari barat.
Bukanlah suatu hal yang mustahil terjadinya gerhana merupakan perantara
terbitnya matahari (dari timur) dengan terbitnya matahari (dari barat)…”
(Fathul Bârî II/546) Jadi, hendaknya seorang mukmin tatkala mendapati gerhana,
ia merasa takut kepada Allôh Ta’âlâ, khawatir Allôh akan menurunkan adzabnya
kepada kita. Apabila Nabi yang mulia ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm saja merasa
takut, padahal beliau adalah hamba Allôh yang paling dicintai Allôh, lantas
mengapa kita melewati waktu gerhana dengan perasaan biasa saja, bahkan kita
lalui dengan perbuatan-perbuatan yang sia-sia, bahkan maksiat.
2. Berusaha
menghadirkan apa yang dilihat oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam berupa
perkara*-perkara besar yang dilihat beliau ketika sholat gerhana. Hal ini akan
membuahkan rasa takut kepada Allôh Ta’âlâ. Karena Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa
Sallam di dalam sholat gerhana, melihat surga dan neraka. Beliau sampai-sampai
berhasrat hendak meraih setandan buah dari surga sehingga beliau merasa
gembira. Beliau juga melihat beberapa bentuk siksa api neraka. Beliau melihat
seorang wanita yang diadzab oleh sebab kucingnya, beliau melihat ‘Amrû bin
Luhay menyeret ususnya di api neraka dan dia adalah orang pertama yang merubah
agama Ibrâhîm ‘alaihi as-Salâm. Dan beliau melihat bahwa penghuni neraka
terbanyak adalah kaum wanita, disebabkan mereka seringkali membangkang untuk
berlaku baik terhadap suaminya. Dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallâhu ‘anhumâ
beliau berkata bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda selepas
gerhana “Sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah dua tanda dari tanda-tanda
Allôh. Gerhana matahari dan bumi tidaklah terjadi oleh sebab kematian atau
kelahiran seseorang. Apabila kalian melihat gerhana maka berdzikirlah kepada Allôh.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasûlullâh,
kami melihat Anda sedang meraih sesuatu di tengah sholat kemudian kami melihat
Anda mundur ke belakang.” Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menjawab : “Sesungguhnya
aku tadi melihat surga dan aku tadi berupaya meraih setandan buah-buahan
darinya. Seandainya kamu mendapatkannya dan memakannya, niscaya kamu (tidak
butuh lagi makanan) di dunia. Kemudian aku melihat neraka dan belum pernah aku
melihat pemandangan yang ngerinya seperti itu. Dan kulihat kebanyakan
penghuninya adalah kaum wanita.”
Para sahabat bertanya, “Oleh sebab apa wahai Rasûlullâh?” Rasûlullâh menjawab, “oleh sebab kekufuran mereka”. Mereka bertanya lagi, “apa karena mereka kufur kepada Allôh?”. Rasûlullâh menjawab : “Mereka mengkufuri suami dan kebaikannya. Apabila kalian berbuat baik kepada salah seorang dari wanita setiap waktu, kemudian dia melihat ada sesuatu yang kurang baik darimu, dia akan berkata : “aku tidak pernah melihatmu berbuat baik sedikitpun.” (Muttafaq ‘alaihi).
Para sahabat bertanya, “Oleh sebab apa wahai Rasûlullâh?” Rasûlullâh menjawab, “oleh sebab kekufuran mereka”. Mereka bertanya lagi, “apa karena mereka kufur kepada Allôh?”. Rasûlullâh menjawab : “Mereka mengkufuri suami dan kebaikannya. Apabila kalian berbuat baik kepada salah seorang dari wanita setiap waktu, kemudian dia melihat ada sesuatu yang kurang baik darimu, dia akan berkata : “aku tidak pernah melihatmu berbuat baik sedikitpun.” (Muttafaq ‘alaihi).
3. Menyeru
untuk melakukan sholat jama’ah. Sebagaimana dalam hadits ‘Abdullâh bin ‘Amr
Radhiyallâhu ‘anhumâ beliau berkata : “Ketika terjadi gerhana matahari di zaman
Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, diserukan : “Sesungguhnya sholat secara berjama’ah”.” (Muttafaq ‘alayhi) Juga
sebagaimana di dalam hadits ‘Â`isyah Radhiyallâhu anhâ beliau berkata : “Pada zaman Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi
wa Sallam terjadi gerhana matahari, lalu Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam
memerintahkan untuk menyerukan sholat secara berjama’ah. Kemudian para sahabat
berkumpul dan berbaris melakukan sholat empat kali ruku’ dan sujud di dalam dua
rakaat.” (HR an-Nasâ`î dan Abû Dâwud, dishahihkan oleh al-Albânî di dalam
Irwâ` al-Gholîl no 658).
4. Tidak
ada adzan dan iqomah pada sholat gerhana. Karena Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa
Sallam melakukan sholat gerhana tanpa adzan dan iqomah. Barangsiapa yang
melakukan sholat gerhana secara berjama’ah diawali dengan adzan dan iqomah,
maka ia harus menunjukkan dasar dan tuntunannya dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi
wa Sallam. Al-Hâfizh Ibnu Hajar menukil ucapan Ibnu Daqîq al-Îd tentang sholat
gerhana, beliau rahimahullâhu berkata : “Telah
sepakat para ulama bahwa sholat gerhana tidak ada adzan dan iqomah…”
(Fathul Bârî II/533) Al-Imâm Ibnu al-Qudâmah rahimahullâhu berkata : “Disunnahkan
untuk menyerukan di sholat gerhana dengan ash-Sholâh Jâmi’ah… dan tidak
disunnahkan melakukan adzan dan iqomah.” (al-Mughnî III/323)
5. Mengeraskan
bacaan ketika sholat gerhana. Dan mengeraskan bacaan ini hukumnya adalah
sunnah, sebagaimana dalam hadits ‘Â`isyah Radhiyallâhu ‘anhâ beliau berkata : “Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam
mengeraskan bacaan beliau ketika sholat gerhana. Apabila beliau selesai membaca
al-Qur`ân, maka beliau bertakbir kemudian ruku’. Ketika bangkit dari ruku’
beliau mengucapkan Sami’a-Llôhu liman hamidahu Robbanâ walaka-l hamdu, kemudian
beliau mengulangi membaca al-Qur`an di sholat gerhana sebanyak empat ruku’ dan
sujud dalam dua raka’at.” (Muttafaq ‘alaihi) Para ulama berbeda pendapat
tentang mengeraskan bacaan di sholat gerhana. Hanafiyah berpendapat bahwa
sholat kusuf (gerhana matahari) dilakukan dengan sirr (lirih) dengan
argumentasi bahwa hukum asal sholat di siang hari adalah dengan bacaan lirih.
Adapun sholat khusûf dilakukan secara sendiri-sendiri dengan bacaan yang lirih.
Mâlikiyah dan Syâfi’iyah berpendapat, sholat gerhana matahari dilakukan dengan
lirih karena dilakukan di siang hari, sedangkan sholat gerhana bulan dilakukan
dengan jahr (bacaan keras) karena dilakukan pada malam hari. Hanâbilah
berpendapat bahwa sholat gerhana matahari dan bulan, kedua-duanya dilakukan
dengan mengeraskan bacaan. Yang lebih râjih adalah, mengeraskan bacaan ini
dilakukan baik untuk sholat gerhana di siang hari ataupun sholat gerhana di
malam hari, sebagaimana dalam hadits ‘Â`isyah Radhiyallâhu ‘anhâ di atas.
Sebab, sunnah yang disyariatkan di dalam sholat jama’ah adalah mengeraskan
bacaan, sebagaimana di dalam sholat istisqô’ (sholat minta hujan), sholat Îd
dan sholat Tarâwîh. Demikianlah pendapat yang lebih râjih insyâ Allôh dan
pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Ibnu Qudâmah dan Ibnu Qoyyim
al-Jauziyah.
6. Melakukan
sholat gerhana secara berjama’ah di masjid. Sebagaimana dalam hadits Â’isyah
Radhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata : “Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju ke masjid, kemudian beliau berdiri
dan bertakbir, sedangkan manusia berbaris di belakang beliau.” (Muttafaq
‘alaihi) Para ulama berbeda pendapat tentang disyariatkannya jama’ah pada
sholat gerhana. Mereka membedakan antara sholat kusûf (gerhana matahari) dan
khusûf (gerhana bulan). Ulama ahli fikih bersepakat bahwa sholat gerhana
matahari disunnah untuk dilaksanakan secara berjama’ah di masjid dan diserukan
sebelumnya dengan seruan : “ash-Sholatu
Jâmi’ah”. Syâfi’iyah dan Hanâbilah memperbolehkan untuk melakukannya secara
sendiri-sendiri (munfarid), dengan alasan berjama’ah hanyalah sebatas sunnah
saja, bukanlah merupakan syarat. Sedangkan Hanafiyah berpendapat, apabila imam
tidak datang, maka manusia boleh sholat sendiri-sendiri di rumah mereka. Adapun
sholat gerhana bulan, Hanafiyah dan Mâlikiyah berpendapat lebih disukai untuk
melaksanakannya secara munfarid sebagaimana sholat-sholat sunnah lainnya.
Sebab, menurut mereka, sholat gerhana bulan belum pernah ada yang menukilkan
pernah dilaksanakan oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, padahal
gerhana bulan itu lebih sering terjadi ketimbang gerhana matahari. Mereka juga
beralasan bahwa hukum asal sholat yang bukan wajib adalah tidak dilaksanakan
secara berjama’ah dan dilakukan di rumah, sebagaimana sabda Nabi Shallallâhu
‘alaihi wa Sallam : “Sholatnya seseorang
di rumahnya adalah lebih utama, kecuali sholat yang wajib.” Kecuali,
apabila ada dalil khusus yang menunjukkan pelaksanaannya secara berjama’ah, seperti
sholat îd, tarawih dan gerhana matahari. Menurut mereka, berkumpul pada malam
hari dapat menyebabkan timbulnya fitnah. Sedangkan Syâfi’iyah dan Hanâbilah
berpendapat bahwa sholat gerhana bulan (khusûf) dilakukan secara berjama’ah
sebagaimana sholat gerhana matahari (kusûf). Mereka juga melandaskan
pendapatnya dengan riwayat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallâhu ‘anhumâ yang melakukan
sholat gerhana bulan bersama manusia di masjid, beliau berkata
“Saya melakukan sholat sebagaimana saya melihat Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam melakukannya.”
“Saya melakukan sholat sebagaimana saya melihat Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam melakukannya.”
Sebagaimana pula di dalam hadits Mahmûd
bin Lubaid, beliau mengatakan :
“Apabila kalian melihat gerhana bulan, maka bersegeralah ke masjid.”
Pendapat yang râjih adalah, tidak ada bedanya antara sholat gerhana matahari dan bulan. Disunnahkan untuk melakukannya secara berjama’ah di masjid, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Qudâmah. Walaupun dibolehkan melakukannya secara sendiri-sendiri, namun mengamalkannya secara berjama’ah adalah lebih utama, sebab nabi melakukan sholat gerhana secara berjama’ah dan disunnahkan untuk mengamalkannya di masjid. (al-Mughnî III/323) Wallôhu a’lam bish showâb.
“Apabila kalian melihat gerhana bulan, maka bersegeralah ke masjid.”
Pendapat yang râjih adalah, tidak ada bedanya antara sholat gerhana matahari dan bulan. Disunnahkan untuk melakukannya secara berjama’ah di masjid, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Qudâmah. Walaupun dibolehkan melakukannya secara sendiri-sendiri, namun mengamalkannya secara berjama’ah adalah lebih utama, sebab nabi melakukan sholat gerhana secara berjama’ah dan disunnahkan untuk mengamalkannya di masjid. (al-Mughnî III/323) Wallôhu a’lam bish showâb.
7. Wanita
juga ikut sholat gerhana. Sebagaimana ‘Â`isyah dan Asmâ` Radhiyallâhu ‘anhumâ
melakukan sholat gerhana bersama Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam. Dari Asmâ`
binti Abî Bakr Radhiyallâhu ‘anhumâ beliau berkata : “Saya mendatangi ‘Â`isyah
Radhiyallâhu ‘anhâ, isteri Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam ketika terhadi
gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan sholat. Ketika beliau
(‘Â`isyah) turut berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya : “Kenapa
orang-orang ini?”. Beliau mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata,
“maha suci Allôh”. Saya bertanya : “tanda (gerhana)?”, beliau memberikan isyarat
untuk mengatakan iya…”
Imam Bukhârî membuat bab di dalam Shahîh-nya “Bâb ash-Sholâh an-Nisâ` ma’a ar-Rijâl fî al-Kusûf” (Bab tentang sholatnya kaum wanita bersama pria di sholat gerhana). Al-Hâfizh mengomentari : “Beliau menunjukkan dengan bab ini untuk membantah orang yang berpendapat dilarangnya wanita sholat gerhana” (Fath al-Bârî II/543). Imam Nawawî mengatakan : “hal ini menunjukkan disunnahkannya sholat gerhana bagi wanita, dan posisinya di belakang kaum pria.” (Syarh Shahîh Muslim VI/462).
Imam Bukhârî membuat bab di dalam Shahîh-nya “Bâb ash-Sholâh an-Nisâ` ma’a ar-Rijâl fî al-Kusûf” (Bab tentang sholatnya kaum wanita bersama pria di sholat gerhana). Al-Hâfizh mengomentari : “Beliau menunjukkan dengan bab ini untuk membantah orang yang berpendapat dilarangnya wanita sholat gerhana” (Fath al-Bârî II/543). Imam Nawawî mengatakan : “hal ini menunjukkan disunnahkannya sholat gerhana bagi wanita, dan posisinya di belakang kaum pria.” (Syarh Shahîh Muslim VI/462).
8. Sholat
gerhana juga dilakukan walaupun dalam keadaan safar. Dalilnya adalah sabda Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam : “Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan terjadi
bukanlah disebabkan oleh kematian atau kelahiran seseorang, namun keduanya
merupakan dua tanda dari tanda-tanda Allôh. Apabila kalian melihatnya, maka
sholatlah!.” (HR Bukhârî) Imam Ibnu Qudâmah rahimahullâhu berkata : “Disyariatkan
sholat gerhana baik dalam keadaan menetap maupun bepergian (safar), baik dengan
izin imam maupun tanpa izin imam.” (al-Mughnî III/322)
9. Memperpanjang
bacaan sholat. Sebagaimana hadits Ibnu ‘Abbâs Radhiyallâhu ‘anhumâ tentang
sifat sholat gerhana Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, yaitu bacaannya
sepanjang surat al-Baqoroh kemudian melakukan ruku’ dengan panjang. Lalu beliau
berdiri kembali dengan panjang namun tidak sepanjang rakaat pertama, dan
melakukan ruku’ dengan panjang namun tidak sepanjang ruku’ pertama.” (Muttafaq
‘alaihi)
Namun, panjangnya sholat hendaklah tidak sampai memperberat makmum. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam Ibnu Baz rahimahullâhu di dalam kumpulan fatwa beliau, Majmû’ Fatâwa wa Maqolât Mutanawwi’ah (XIII/35).
Namun, panjangnya sholat hendaklah tidak sampai memperberat makmum. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam Ibnu Baz rahimahullâhu di dalam kumpulan fatwa beliau, Majmû’ Fatâwa wa Maqolât Mutanawwi’ah (XIII/35).
10.
Disunnahkan untuk khutbah. Sebagaimana
hadits ‘Â`isyah Radhiyallâhu ‘anhâ beliau berkata : “Sesungguhnya Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam keluar dari kediamannya dan tengah terjadi
gerhana matahari saat itu. Kami pun keluar menuju ke kamar dan kami bergabung
dengan wanita-wanita lainnya… kemudian Nabi melakukan sholat berdiri yang
panjang, lalu ruku’ dengan panjang. Lalu beliau mengangkat kepalanya dan
berdiri cukup panjang namun tak sepanjang berdirinya yang pertama, kemudian
beliau ruku’ tak selama ruku’nya yang pertama. Lalu beliau sujud kemudian
beliau berdiri kembali dan melakukan hal yang sama dengan rakaat pertama namun
tak sepanjang rakaat pertama. Kemudian beliau sujud dan matahari pun mulai
muncul. Setelah selesai, beliau baik di atas mimbar dan berkata : “Sesungguhnya
manusia akan difitnah di dalam kubur mereka sebagaimana fitnahnya Dajjâl” Di
dalam riwayat yang lain. ‘Â`isyah Radhiyallâhu ‘anhâ berkata : “Kami mendengar
khutbah beliau selepas sholat gerhana, beliau memperingatkan dari siksa kubur.”
(HR an-Nasâ’î). Beberapa ulama Mâlikiyah, Hanafiyah dan sebagian riwayat dari
Hanâbilah berpendapat tidak adanya khutbah sholat gerhana. Menurut mereka,
tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa
Sallam melakukan khutbah. Sedangkan Syâfi’iyah dan madzhab ahli hadits
menetapkan adanya khutbah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar