Translate

Sabtu, 25 Mei 2013

KULIAH MINGGU PAGI (Ust. AGUS)



SIAPA YANG MENANAM, DIA YANG AKAN MENUAI
Segala puji itu hanyalah milik Allah. Dialah zat yang telah menyempurnakan nikmat-Nya untuk kita dan secara berturut-turut memberikan berbagai pemberian dan anugerah kepada kita.
Semoga Allah menyanjung dan memberi keselamatan untuk Nabi kita Muhammad, keluarganya yang merupakan manusia pilihan dan semua sahabatnya yang merupakan manusia-manusia yang bertakwa seiring silih bergantinya malam dan siang.
Kita pasti pernah mendengar peribahasa ini, “Siapa yang menanam, Dia yang akan menuai.” Maksudnya, jika seseorang menanam kebaikan, maka ia akan menuai kebaikan pula. Dan jika seseorang menanam kejelekan, maka ia akan menuai hasil yang jelek pula. Berikut beberapa contoh dalam Al Qur’an dan hadits yang menceritakan maksud dari peribahasa ini.
Menjaga Hak Allah, Menuai Penjagaan Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan pada Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- sebuah kalimat,
احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ
Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.[1]
Yang dimaksud menjaga Allah di sini adalah menjaga batasan-batasan, hak-hak, perintah, dan  larangan-larangan Allah. Yaitu seseorang menjaganya dengan melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan tidak melampaui batas dari batasan-Nya (berupa perintah maupun larangan Allah). Orang yang melakukan seperti ini, merekalah yang menjaga diri dari batasan-batasan Allah. Yang utama  untuk dijaga adalah shalat lima waktu yang wajib. Dan yang patut dijaga lagi adalah pendengaran, penglihatan dan lisan dari berbagai keharaman. Begitu pula yang mesti dijaga adalah kemaluan, yaitu  meletakkannya pada yang halal saja dan bukan melalui jalan haram yaitu zina.[2]
Barangsiapa menjaga diri dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan, maka ia akan mendapatkan dua penjagaan.
Penjagaan pertama: Allah akan menjaga urusan dunianya yaitu ia akan mendapatkan penjagaan diri, anak, keluarga dan harta.
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Barangsiapa menjaga (hak-hak) Allah, maka Allah akan menjaganya dari berbagai gangguan.” Sebagian salaf mengatakan, “Barangsiapa bertakwa pada Allah, maka Allah akan menjaga dirinya. Barangsiapa lalai dari takwa kepada Allah, maka Allah tidak ambil peduli padanya. Orang itu berarti telah menyia-nyiakan dirinya sendiri. Allah sama sekali tidak butuh padanya.”
Jika seseorang berbuat maksiat, maka ia juga dapat melihat tingkah laku yang aneh pada keluarganya bahkan pada hewan tunggangannya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Jika aku bermaksiat pada Allah, maka pasti aku akan menemui tingkah laku yang aneh pada budakku bahkan juga pada hewan tungganganku.”[3]
Penjagaan kedua: Penjagaan yang lebih dari penjagaan pertama, yaitu Allah akan menjaga agama dan keimanannya. Allah akan menjaga dirinya dari pemikiran rancu yang bisa menyesatkan dan dari berbagai syahwat yang diharamkan.[4]
Semoga dengan menjaga hak-hak Allah, kita semua bisa menuai dua penjagaan ini.
Berlaku Jujur, Menuai Kebaikan
Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.[5]
Terkhusus lagi, beliau memerintahkan kejujuran ini pada pedagang karena memang kebiasaan para pedagang adalah melakukan penipuan dan menempuh segala cara demi melariskan barang dagangan.
Dari Rifa’ah, ia mengatakan bahwa ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan transaksi jual beli. Beliau lalu menyeru, “Wahai para pedagang!” Orang-orang pun memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menengadahkan leher dan pandangan mereka pada beliau. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ
Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur.[6]
Berlaku jujur juga akan menuai berbagai keberkahan. Yang dimaksud keberkahan adalah tetapnya dan bertambahnya kebaikan. Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا – أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu.[7]
Inilah buah yang dipetik dari pedagang yang tidak berlaku jujur. Sedangkan sebaliknya jika pedagang bisa berlaku jujur, maka ia pun akan menuai berbagai kebaikan dan keberkahan.
Mudah Memaafkan dan Tawadhu’, Menuai Kemuliaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ رَجُلاً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
Sedekah tidak mungkin mengurangi harta. Tidaklah seseorang suka memaafkan, melainkan ia akan semakin mulia. Tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ (rendah diri) karena Allah, melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.[8]
Seseorang yang selalu memaafkan akan semakin mulia dan bertambah kemuliaannya. Ia juga akan mendapatkan balasan dan kemuliaan di akhirat. Begitu pula orang yang tawadhu’ (rendah diri) karena Allah, ia akan ditinggikan derajatnya di dunia, Allah akan senantiasa meneguhkan hatinya dan meninggikan derajatnya di sisi manusia, serta kedudukannya pun akan semakin mulia. Di akhirat pun, Allah akan meninggikan derajatnya karena ketawadhu’annya di dunia.[9]
Berperilaku Baik, Menjadi Teman Akrab
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Sahabat yg mulia, Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- mengatakan, “Allah memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa.”[10]
Menolong dan Memudahkan Sesama, Menuai Pertolongan dan Kemudahan dari Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ
Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.[11]
Di antara bentuk pertolongan di sini adalah seseorang memberikan kemudahan dalam masalah utang. Ini bisa dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, memberikan tenggang waktu pelunasan dari tempo yang diberikan, ini hukumnya wajib. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (QS. Al Baqarah: 280). Cara kedua, dengan memutihkan hutang tersebut, dan ini dianjurkan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280)
Berkebalikan dari sikap baik ini adalah mengenakan riba pada saudaranya yang menunda utang. Ini adalah berkebalikan dari memberi kemudahan. Maka tentu saja orang yang memberi kesulitan pada saudaranya akan menuai hasil yang sebaliknya.
Usaha disertai Tawakkal akan Menuai Hasil
Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً
Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”[12] Burung ini melakukan usaha dan bertawakkal pada Allah, akhirnya ia pun kenyang ketika pulang di sore hari. Ini berarti tanpa usaha, tidak akan memperoleh hasil apa-apa. Dan usaha tanpa tawakkal, hanya akan memperoleh sekadar yang Allah takdirkan. Yang tepat adalah usaha disertai tawakkal, niscaya hasil memuaskan yang akan dituai.
Berbuat Curang, Menuai Berbagai Musibah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤُنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ
Dan tidaklah mereka berbuat curang ketika menakar dan menimbangm melainkan mereka akan ditimpa kekeringan, mahalnya biaya hidup dan kelaliman para penguasa.[13]
Dan sebab curang dalam perniagaaan inilah sebab dibinasakannya kaum Madyan, umat Nabi Syu’aib ‘alaihis salam. Allah Ta’ala memerintahkan pada kaum Madyan,
أَوْفُوا الْكَيْلَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُخْسِرِينَ (181) وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ (182) وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ (183)
Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang- orang yang merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. Asy Syu’ara: 181-183)
Jadi ingatlah, setiap yang kita tanam -baik kebaikan maupun kejelekan-, pasti kita akan menuai hasilnya. Oleh karenanya, bersemangatlah dalam menanam kebaikan dan janganlah pernah mau menanam kejelekan. Para ulama seringkali mengutarakan, “Balasan dari kebaikan adalah kebaikan setelahnya. Sedangkan balasan dari kejelekan adalah kejelekan setelahnya.”[14]
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
[1] HR. Tirmidzi no. 2516 dan Ahmad 1/303. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[2] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 223-224.
[3] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 225-226.
[4] Faedah dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 224-226.
[5] HR. Muslim no. 2607.
[6] HR. Tirmidzi no. 1210 dan Ibnu Majah no. 2146. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib 1785 mengatakan bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi (shahih dilihat dari jalur lainnya).
[7] HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532.
[8] HR. Muslim no. 2588, dari Abu Hurairah.
[9] Al Minhaj Syarh Muslim, 16/141-142.
[10] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/243.
[11] HR. Muslim no. 2699, dari Abu Hurairah
[12] HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310.
[13] HR. Ibnu Majah no. 4019. Syaikh Al Albani mengatkan bahwa hadits ini hasan.
[14] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/372 [Tafsir Surat Al Lail ayat 7]

Jumat, 24 Mei 2013

Kita Selalu Bersyukur Kepada Allah



Khutbah Pertama

Jamaah Sholat Jum’at Mesjid Al Muhajirin yang di Rahmati Allah swt.
Marilah kita meningkatkan taqwa dan rasa syukur kita kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala , agar hidup kita bisa tenang, tenteram, dan bahagia lahir – batin. Karena dengan hati yang “syukur”, hati menjadi tenang, tidak tamak, dan tidak serakah, sehingga hidup kita diliputi ketenangan, tidak diperbudak oleh harta dunia dan hawa nafsu.

Jamaah Sholat Jum’at Mesjid Al Muhajirin yang di Rahmati Allah swt.
Syukur adalah salah satu bentuk ibadah kepada Allah, yaitu ibadah yang bersifat qalbiyah (hati). Sebab syukur adalah perintah Allah. Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan dan mewajibkan kita untuk selalu mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita. Dan buah dari syukur itu luar biasa, diantaranya adalah ditambahinya nikmat oleh Allah Subhanaahu wa Ta`ala .

Salah satu ayat yang sangat populer karena seringnya kita ucapkan dan kita dengar adalah:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu memberitahukan, jika kalian bersyukur niscaya Aku akan tambah (nikmat itu) bagi kalian, dan jika kalian kufur, maka sesungguhnya siksa Ku amat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

Dalam ayat ini Allah Subhanaahu wa Ta`ala menjadikan tambahan (nikmat) bergantung kepada kesyukuran. Ibnu Abu Dunya meriwayatkan, kepada seorang laki-laki dari Hamadzan Ali bin Abi Thalib Rodiallohu `anhu berkata, "Sesungguhnya nikmat itu berhubungan dengan syukur. Sedangkan syukur berkaitan dengan mazid (penambahan nikmat). Keduanya tidak bisa dipisahkan. Maka mazid dari Allah tidak akan terputus sampai terputusnya syukur dari hamba."

Ternyata ayat tadi begitu agung maknanya, mudah kita ucapkan, tetapi sulit kita amalkan. Di ayat lain Allah Subhanaahu wa Ta`ala  berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ
“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?!” (QS. Fathir: 3)

Dalam ayat tersebut, Allah menyuruh umat manusia untuk merenung dan memperhatikan betapa banyak nikmat Allah untuk manusia, baik yang berada di langit maupun yang berada di bumi. Di mana nikmat-nikmat Allah itu kalau mau kita hitung semuanya, niscaya tidak akan mampu menghitungnya. Dan semua itu diberikan untuk kepentingan umat manusia.
Oleh karena itu, tidak layak bagi manusia untuk tidak menyembah Allah, dan tidak layak pula menyekutukan-Nya. Karena hanya Allah-lah yang mampu memberi rezki.

Jamaah Sholat Jum’at Mesjid Al Muhajirin yang di Rahmati Allah swt.
Setiap kali Allah menuntut manusia untuk menyembah-Nya, Allah selalu mengingatkan dengan “Rububiyah”-Nya, seperti firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)
  • Ketika Allah menyuruh manusia untuk menyembah-Nya, Ia mengingatkan manusia akan kejadian dirinya. (sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu)
  • Ketika Ia memerintahkan manusia supaya bersyukur, maka manusia diingatkan kepada Yang memberi rezki.

Allah berfirman:
إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِتُرْجَعُونَ

“Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu, tidak mampu memberikan rezki kepadamu; maka mintalah (cari) rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al-Ankabut: 17)

Padaawal ayat ini menceritakan umat Nabi Ibrahim u yang tidak mau menyembah Allah, bahkan mereka menyembah patung-patung yang mereka buat sendiri. Allah menjelaskan bahwa patung-patung atau lainnya yang mereka sembah selain diri-Nya, tidak dapat berbuat apa-apa, apalagi memberi rezki untuk kehidupannya. Hanya dari sisi Allahlah rezki itu diperoleh. Oleh karena itu, seharusnya mereka hanya menyembah Allah dan bersyukur kepada-Nya. Meski demikian, ayat ini juga ditujukan kepada kita umat Islam agar menyembah dan bersyukur kepada Allah.

Intisari ayat ini adalah:
1.  Jika ingin memperoleh rezki, mintalah kepada Allah.
2.  Allah adalah sumber segala rezki (baik itu rezki kesehatan, anak, maupun harta dsb).
3.  Beribadah dan bersyukur adalah keharusan bagi manusia.

Jamaah Sholat Jum’at Mesjid Al Muhajirin yang di Rahmati Allah swt.
Selanjutnya, bagaimana agar kita bisa menjadi orang yang pandai bersykur?!
Baginda Rasul Sholallohu `alaihi wa sallam telah memberikan tuntunan kepada kita, agar menjadi orang yang pandai bersyukur caranya adalah selalu melihat ke bawah dalam masalah harta. Maksudnya, lihatlah orang yang di bawah kita, jangan selalu melihat ke atas (orang kaya dan sukses), nanti menjadi tamak, dan tidak pandai bersyukur. Dari Abu Hurairah Rodiallohu `anhu bahwa Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam bersabda:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ (رواه مسلم)

“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kamu dan janganlah kamu melihat orang yang di atasmu. Maka hal itu lebih baik untuk tidak meremehkan nikmat Allah atas kamu.” (HR. Muslim)

Jamaah Sholat Jum’at Mesjid Al Muhajirin yang di Rahmati Allah swt.
Bagaimana cara bersyukur kepada Allah?!
Syukur yang benar ada tiga rukun yang harus dipenuhi, tidak boleh tidak, sebagaimana definisi iman, yaitu:
  1. Dengan hati. Hatinya benar-benar bersyukur kepada Allah, mengakui nikmat itu,  bukan basa-basi.
  2. Dengan lisan. Lisannya memuji Allah, mengucapkan “ألحمد لله”, membicarakan nikmat itu, sebagai wujud pembenaran hati.
  3. Dibuktikan dengan amal perbuatan, yaitu dengan meningkatkan ibadah kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala , menaati Allah dan menjauhi maksiat.

Jadi, orang yang bersyukur kepada Allah, akan giat beribadah. Sebaliknya, orang yang malas beribadah adalah orang yang tidak bersyukur atau kurang syukurnya kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala .

Oleh karena itu, orang yang pandai bersyukur, dan benar-benar bersyukur kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala itu sedikit sekali. Tidak banyak. Begitu yang dikabarkan Allah dalam al-Qur'an:
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Dan sedikit saja dari hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS. Saba’: 13)

Kita berdo’a kepada Allah, semoga kita termasuk orang-orang yang sedikit itu, yaitu orang-orang yang pandai bersyukur kepada Allah, sehingga menjadi hamba yang taat kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala ,  amin ya Rabbal ‘alamin.

بارك الله لى ولكم فى القرأن العظيم، ونفعنى واياكم بما فيه من الأيات والدكر الحكيم، وتقبل الله منى ومنكم تلاوته انه هو الغفور الرحيم



Khutbah ke dua:

Jamaah Sholat Jum’at Mesjid Al Muhajirin yang di Rahmati Allah swt.
Pada khutbah kedua ini kami ingin mengingatkan sekali lagi untuk senantiasa menjadi orang yang pandai bersyukur, bukan menjadi orang yang kufur. Karena Allah membagi manusia menjadi dua; syukur dan kufur. Yang paling dimurkai Allah adalah kekufuran dan orang-orang kafir. Sedangkan yang paling dicintai Allah adalah kesyukuran dan orang-orang yang pandai bersyukur. Allah berfirman:
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
"Sungguh telah Kami tunjukkan kepadanya jalan itu. Adakalanya ia bersyukur dan adakalanya ia kufur." (QS. Al-Insan: 3)

Dan tatkala iblis mengerti nilai syukur, bahwa ia merupakan maqam tertinggi dan termulia, maka iblispun mencanangkan tujuan akhirnya adalah mengusahakan terputusnya manusia dari bersyukur. Allah menjelaskan tentang tekad iblis:

ثُمَّ لَآَتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

"Lalu aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari samping kanan, dan dari samping kiri. Sehingga Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka pada bersyukur." (QS. Al-A'raf: 17)

Ya Allah, tolonglah kami agar selalu ingat kepada-Mu, mensyukuri-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu. Amin Ya Mujibassa'ilin.