Translate

Sabtu, 06 Maret 2021

Masa Muda

 

Kemana Masa Mudaku Melangkah? (8)

Kemana Masa Mudaku Melangkah? (8)

Di antara Kelalaian Pemuda Zaman Ini

1. Kurang perhatian terhadap Kitabullah

Wahai pemuda Islam, camkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

إن الله يرفع بهذا الكتاب أقواما، ويضع به آخرين

Sesungguhnya Allah meninggikan derajat suatu kaum dengan sebab berpegang teguh terhadap Kitab ini (Al-Qur’an) dan merendahkan kaum lainnya dengan sebab menelantarkan Kitab ini” (HR. Imam Muslim).

Nah, tentulah sosok pemuda Islam yang hebat, memilih menjadi sosok hamba Allah yang ditinggikan derajatnya oleh-Nya! Ia tidak ingin menjadi generasi yang lemah dan hina. Ketinggian derajat pemuda Islam itu diraih dengan berpegang teguh terhadap Al-Qur’an.

Ketahuilah, bahwa seorang hamba dikatakan berpegang teguh dengan Al-Qur’an, ketika ia merealisasikan tujuan Al-Qur’an diturunkan. Jika Anda bertanya apakah tujuan Al-Quran diturunkan, simaklah jawaban berikut ini.

Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

فالقرآن الكريم نزل لأمور ثلاثة: التعبد بتلاوته، وفهم معانيه والعمل به

“Al-Qur’an diturunkan untuk tiga tujuan: beribadah dengan membacanya, memahami makna, dan mengamalkannya” (Ushul fit -Tafsir)

Allah Ta’ala berfirman tentang Al-Qur’anul Karim,

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” (QS. Ibrahim:1).

Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Allah Ta`ala mengabarkan bahwa Dia telah menurunkan kitab-Nya kepada Rasul-Nya, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan manfaat kepada makhluk, mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan, kekufuran, akhlak yang buruk dan berbagai macam kemaksiatan kepada cahaya ilmu, iman, dan akhlak yang baik.

Firman Allah yang artinya “dengan izin Tuhan mereka”, maksudnya adalah mereka tidak mampu meraih tujuan yang dicintai oleh Allah melainkan dengan kehendak dan pertolongan dari Allah. Di sini terdapat dorongan bagi hamba untuk memohon pertolongan kepada Tuhan mereka. Allah juga menjelaskan tentang cahaya yang ditunjukkan kepada mereka dalam Al-Qur’an, dengan berfirman yang artinya “(yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”, maksudnya adalah yang mengantarkan kepada-Nya dan kepada tempat yang dimuliakan-Nya yang mencakup atas ilmu yang benar dan pengamalannya. Penyebutan firman Allah yang artinya “Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” setelah penyebutan jalan yang mengantarkan kepada-Nya mengisyaratkan bahwa orang yang meniti jalan tersebut adalah orang yang mulia dengan pengaruh kemuliaan Allah. Iapun kuat, meski hanya Allah yang menjadi penolongnya. Urusan-urusan orang tersebut terpuji lagi memperoleh dampak yang baik” (Tafsir As-Sa’di, hal. 478).

Dari penjelasan di atas, sangatlah jelas bahwa barangsiapa yang ingin keluar dari dosa-dosa, ingin keluar dari kekurangan dan kelemahannya, akhlak buruk, ideologi sesat dan tingkah laku yang menyimpang, ingin terlepas dari kehinaan, maka perbanyaklah mempelajari Al-Qur’an dan mengamalkannyaAkrablah dengannya dalam keseharian. Sebaliknya, jika seorang pemuda jauh dari Al-Qur’an, jarang membacanya, sedikit memahami kandungannya, banyak menelantarkannya, maka akan menemui kehinaan, dan kerendahan di dunia dan akhirat.

2. Banyak meninggalkan kewajiban menuntut ilmu agama Islam

Wahai pemuda Islam, ingatlah bahwa Rabb Anda telah mewajibkan Anda menuntut ilmu agama Islam, sekadar bekal Anda dalam melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طلب العلم فريضة على كل مسلم

Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah. Hadits ini dihasankan oleh As-Suyuthi, Adz-Dzahabi dan disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Dari hadits yang agung di atas, ulama menjelaskan tentang adanya jenis ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu ‘ain (wajib mutlak).

Ciri khas ilmu fardhu ‘ain itu adalah :

Jika seorang hamba tidak mengetahui ilmu fardhu ‘ain, maka  ia tidak bisa menunaikan kewajiban. Hal ini mengakibatkannya jatuh dalam dosa. Dengan kata lain, jika seseorang tidak mempelajari ilmu fardhu ‘ain, akan terjatuh kedalam dua kemungkinan:

  1. Tidak bisa melaksanakan perintah Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib dilaksanakan sehingga berdosa.
  2. Melakukan larangan Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib ditinggalkan (yang haram dilakukan), sehingga terjatuh kedalam dosa.

Oleh karena itu, Imam Ahmad rahimahullah pernah menjelaskan tentang hal itu,

يجب أن يطلب من العلم ما يقوم به دينه، قيل له مثل أي شيء؟ قال: الذي لا يسعه جهله: صلاته و صيامه، و نحو ذلك

“Menuntut ilmu yang menjadi landasan tegaknya agama adalah wajib. Beliau ditanya, ‘Contohnya apa?’ Beliau menjawab, ‘Ilmu yang harus diketahuinya adalah tentang sholat dan puasa, serta yang semisal itu.’”

Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang menuntut ilmu syar’i, beliau menjawab,

كله خير و لكن انظر إلى ما تحتاجه في يومك و ليلتك فاطلبه

“Semuanya baik, akan tetapi lihatlah kepada ilmu yang engkau butuhkan sehari semalam, maka carilah ilmu tersebut”

Ketika pemuda Islam disibukkan dengan ilmu yang dibutuhkan dalam keseharian mereka, berupa ilmu tentang iman dan tauhid (keyakinan yang benar), serta ibadah (amal yang sah), maka biidznillah, kejayaan umat Islam akan menyertai kaum muslimin. Namun sebaliknya, ketika para pemuda disibukkan dengan pengetahuan yang sia-sia, bahkan pengetahuan yang membahayakan mereka, apalagi ketika mereka jauh dari agama Islam, maka tunggulah kehancuran umat ini.

3. Melalaikan Hati

Pemuda Islam yang benar-benar ingin berjumpa dengan Allah, tentunya sangat memperhatikan kondisi hatinya. Karena ia paham bahwa bekal untuk berjumpa dengan Allah adalah qolbun salim (hati yang bersih)sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ

(88) “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,

إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ                    

(89) “kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (Asy-Syu’araa`: 88-89).

Hati yang bersih itu maksudnya adalah bersih dari paham rancu dan penyakit syahwat, bentuknya bisa berupa kesyirikan, kebid’ahan, dan berbagai macam kemaksiatan. Hanya saja yang kerap menjadi problem banyak dari pemuda Islam, ketika terjangkiti sebagian penyakit tersebut, mereka tidak mengetahui terapi penyakitnya yang benar atau telah menjalani terapi yang benar, namun tidak lengkap atau mengetahui terapi yang lengkap, namun tidak sabar menjalaninya. Bagaimana terapi yang benar dan lengkap? Berikut ini ulasannya.

Tiga kaedah besar terapi penyakit

Berdasarkan pengamatan terhadap ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa terapi untuk pengobatan penyakit hati tersimpul dalam tiga macam cara pengobatan. Beliau menyebutnya dengan “madaarush shihhah” (ruang lingkup pengobatan), dan ketiga macam cara inilah yang  diterapkan oleh para dokter dalam mengobati pasien mereka. Tiga macam cara pengobatantersebut adalah:

1). Hifzhul quwwah (memelihara kekuatan dan kondisi hati), yaitu dengan memperbanyak melakukan ibadah dan amalan shaleh untuk meningkatkan keimanan, seperti mambaca Al-Qur`an dengan menghayati kandungan maknanya, berzikir, mempelajari ilmu agama yang bermanfaat, utamanya ilmu tauhid, dan lain-lain.

2). Al Himyatu ‘anil mu’dzi (menjaga hati dari penyakit-penyakit lain dan sarana dosa), yaitu dengan cara menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa, maksiat dan jalan serta sarana penghantar kemaksiatan, karena perbuatan-perbutan tersebut akan semakin memperparah dan menambah penyakit hati, atau melemahkan kekuatan iman dalam hati.

3). Istifragul mawaaddil faasidah (membersihkan noda-noda hitam dalam hati yang merusak, sebagai akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang pernah dilakukan), yaitu dengan cara beristigfar dan bertaubat dengan taubat yang tulus kepada Allah .

Tentu saja selama proses pengobatan penyakit hati ini, seorang muslim membutuhkan kesungguhan dan usaha keras untuk menundukkan dan memaksa hawa nafsunya agar bisa melaksanakan cara-cara pengobatan di atas, artinya, sebelum dia mencapai kesempurnaan iman, yang dengan itu dia akan merasakan kemanisan dan kelezatan iman, di awal perjalanannya menempuh jalan Allah ini, dia mesti merasakan kepahitan dan kesusahan terlebih dahulu dalam proses penngobatan penyakit hati/imannya. Dia harus berusaha keras dan berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mengamalkan terapi tersebut agar proses terapi penyakit hati itu berlangsung dengan baik dan sempurna, sebagaimana orang sakit yang tidak bisa merasakan nikmatnya makanan lezat, kalau dia benar-benar ingin sembuh, maka dia harus berusaha dan memaksa dirinya untuk meminum obat yang rasanya pahit dan getir secara teratur, dan mengkonsumsi makanan yang bergizi untuk menjaga kondisinya meskipun makanan tersebut terasa pahit di lidahnya dan susah ditelan. Proses inilah yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

حجبت الجنّة بالمكاره و حجبت النار بالشهوات

Jannah (Surga) itu dikelilingi (ditutupi) dengan perkara-perkara yang susah dan tidak disenangi oleh nafsu manusia, sedangkan neraka itu dikelilingi dengan perkara-perkara yang disenangi oleh nafsu syahwat manusia” (HR. Al Bukhari 5/2379 dan Muslim 4/2174 dari Abu Hurairah).

Yang perlu diingat dan dicamkan di sini, bahwa rasa berat dan kesusahan ini hanyalah dirasakan di awal menempuh jalan mencapai ridha Allah, yaitu selama proses pengobatan penyakit hati berlangsung, karena hal ini memang Allah jadikan untuk menguji kesungguhan dan kesabaran seorang hamba dalam berjuang menundukkan hawa nafsunya di jalan-Nya. Maka setelah terbukti kesungguhan dan kesabaran hamba tersebut, barulah kemudian Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada hamba tersebut, dengan menghilangkan penyakit hatinya dan menganugrahkan kesempurnaan dan kemanisan iman kepadanya.

Perlu diketahui, wahai pemuda Islam, bahwa hidayah yang Allah berikan itu tergantung dari besar-kecilnya kesabaran dan kesungguhan seorang hamba dalam menempuh jalan Allah  ini. Allah  berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh (dalam menundukkan hawa nafsu) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami berikan hidayah kepada mereka (dalam menempuh) jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al ‘Ankabuut: 69).

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah ketika menjelaskan ayat di atas berkata: “(Dalam ayat ini) Allah  menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan kesungguhan (manusia), maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah (dari Allah ) adalah orang yang paling besar perjuangan dan kesungguhannya.

Studi Kasus

Dari penjelasan di atas, mari kita ambil suatu kasus untuk kita pelajari bagaimana terapinya. Misalnya, pemuda yang memiliki penyakit hati atau dosa suka tawuran masal secara zhalim, maka tentu tidak cukup lengkap jika terapinya hanya sekedar dinasehati untuk meninggalkan tawuran saja, sementara tidak disertai proses terapi yang lain. Karena itu baru sebagian dari jenis terapi yang ketiga, yaitu Istifragul mawaaddil faasidah (membersihkan noda-noda hitam dalam hati yang merusak, sebagai akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang pernah dilakukan).

Oleh karena itu perlu dilakukan terapi yang pertama, Hifzhul quwwah (memelihara kekuatan dan kondisi hati). Dalam hal ini, misalnya mengetahui tentang Tauhid dan mengamalkannya, mengisi waktu luang dengan menghadiri majelis ta’lim, menjaga shalat lima waktu, dan bergaul dengan teman-teman yang shalih.

Serta melakukan terapi kedua,  Al Himyatu ‘anil mu’dzi (menjaga hati dari penyakit-penyakit lain dan sarana dosa), misalnya: meninggalkan teman-teman yang jelek, tempat-tempat berkumpul mereka, aktifitas yang sia-sia bersama mereka dan menjaga diri dari melakukan kemaksiatan yang lainnya.

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id